Minggu, 08 Juni 2008

1.4 Era Violet

Sigi berada jauh dari ibunya. Meski jauh ia sanggup memperhatikan ibunya. Ia memperhatikan, tapi ibunya tidak tahu ia di mana. Ia memperhatikan leleh tangis di wajah ibunya. Ia memperhatikan rengeknya kepada orang-orang di sekitarnya, memohon agar anaknya dicarikan. Sigi hanya menatap tanpa ekspresi. Sigi merasa ini adalah pilihan, dan mau tidak mau ibunya terpaksa pahit akibat pilihan ini.


“Langkahmu apa tidak terlalu nekat, Nak?”


Sesosok tinggi besar gelap menghampiri Sigi. Tidak jelas makhluk apakah itu. Berdiri tegak dengan dua kaki namun sosok ini tidak menyerupai manusia yang normal. Wajah tidak terlalu kentara, sama sekali tidak bisa diperhatikan ekspresinya ketika ia berbicara. Sosok itu sebenarnya punya bentuk tubuh yang jelas, tapi entah bagaimana caranya ia bisa menolak cahaya memantulkan permukaan tubuhnya. jadinya hanya terlihat seperti bayangan hitam besar berdiri saja.


“Ini langkahku. Tidak ada yang nekat, semua sudah aku rencanakan.”


Bayangan hitam itu ikut memperhatikan apa yang Sigi perhatikan. Seorang ibu muda yang tangisnya makin menjadi-jadi. Sigi sudah cukup lama berkawan dengan bayangan hitam ini. Ia biasa memanggilnya Amal. Amal datang dan pergi, tidak selalu ada setiap saat. Sigi lebih merasa tenang berbicara dengan Amal yang datang dan pergi ketimbang ke ibunya yang selalu ada setiap saat itu.


“Amal, Era Violet akan segera datang. Aku yakin itu. Aku bisa mewujudkannya.”


“Era itu perlu dibangun bersama dengan anak-anak pilihan. Kamu yakin mereka semua telah siap untuk era itu?”


“Aku siap. Jika aku siap, yang lain harus siap.”


“Tidak baik kalau kamu memaksakan.”


Sigi menatap Amal. Tidak ada yang bisa melihat raut di wajah Amal kecuali dia. Sigi melihat ekspresi kebimbangan di muka Amal. Ia heran, dari awal Amal yang selalu bercerita soal anak-anak istimewa. Namun, ketika ia bertekad untuk membawa Era Violet lebih cepat, giliran Amal yang ragu. Sigi tersenyum, memberi secercah rasa percaya diri ke Amal.


“Amal, kamu sendiri yang bilang kalau mereka anak-anak hebat. Kalau memang mereka hebat, maka aku minta mereka berbuat apa saja harusnya tidak jadi masalah.”


Dari kejauhan terlihat orang-orang membopong ibu muda yang tangisnya belakangan berubah menjadi histeri. Gejolak emosi tidak bisa ia kendalikan lagi. Kehilangan anak jelas adalah sesuatu yang terburuk, tidak bisa dipungkiri lagi. Ibu muda itu dibawa ke tempat yang lebih teduh dan berusaha dibangunkan lagi. Sigi hanya menatap kejadian itu, dengan air mata datar.


“Aku merasa monster itu akan datang dalam waktu yang sangat dekat.”


“Kamu tahu dari mana, Nak?”


“Percaya deh, aku lebih tahu dari kamu. Era Violet mau tidak mau harus kita datangkan, kalau tidak Bumi ini bakal ditelan hidup-hidup oleh monster itu.”


Ibu muda itu dibangunkan. Histeri mereda meski sedihnya belum hilang. Tidak ada niat untuk Sigi mendatangi ibunya. Seperti yang ia katakan, semua ini merupakan pilihan. Amal juga tidak bisa membujuk kawannya untuk kembali ke pangkuan ibunya. Ia sama-sama percaya kalau Era Violet adalah prioritas, melebihi apapun. Amal yang pertama kali memperkenalkan bayangan sebuah negeri di Era Violet ke Sigi. Bagaimana mungkin ia sekarang malahan berusaha memungkiri itu.


3 komentar:

Anonim mengatakan...

wah bener2 membawa ke alam imajinasi..
btw ini masih ada lanjutanny kan?

hafiz mengatakan...

harus dicepatkan kedatangan era violet atau semuanya musnah!

Anonim mengatakan...

wah bentar deh..saya belum sempet baca novelnya...