Jumat, 13 Juni 2008

website ini pindah

silakan ke
http://www.oligark.net/

Minggu, 08 Juni 2008

1.4 Era Violet

Sigi berada jauh dari ibunya. Meski jauh ia sanggup memperhatikan ibunya. Ia memperhatikan, tapi ibunya tidak tahu ia di mana. Ia memperhatikan leleh tangis di wajah ibunya. Ia memperhatikan rengeknya kepada orang-orang di sekitarnya, memohon agar anaknya dicarikan. Sigi hanya menatap tanpa ekspresi. Sigi merasa ini adalah pilihan, dan mau tidak mau ibunya terpaksa pahit akibat pilihan ini.


“Langkahmu apa tidak terlalu nekat, Nak?”


Sesosok tinggi besar gelap menghampiri Sigi. Tidak jelas makhluk apakah itu. Berdiri tegak dengan dua kaki namun sosok ini tidak menyerupai manusia yang normal. Wajah tidak terlalu kentara, sama sekali tidak bisa diperhatikan ekspresinya ketika ia berbicara. Sosok itu sebenarnya punya bentuk tubuh yang jelas, tapi entah bagaimana caranya ia bisa menolak cahaya memantulkan permukaan tubuhnya. jadinya hanya terlihat seperti bayangan hitam besar berdiri saja.


“Ini langkahku. Tidak ada yang nekat, semua sudah aku rencanakan.”


Bayangan hitam itu ikut memperhatikan apa yang Sigi perhatikan. Seorang ibu muda yang tangisnya makin menjadi-jadi. Sigi sudah cukup lama berkawan dengan bayangan hitam ini. Ia biasa memanggilnya Amal. Amal datang dan pergi, tidak selalu ada setiap saat. Sigi lebih merasa tenang berbicara dengan Amal yang datang dan pergi ketimbang ke ibunya yang selalu ada setiap saat itu.


“Amal, Era Violet akan segera datang. Aku yakin itu. Aku bisa mewujudkannya.”


“Era itu perlu dibangun bersama dengan anak-anak pilihan. Kamu yakin mereka semua telah siap untuk era itu?”


“Aku siap. Jika aku siap, yang lain harus siap.”


“Tidak baik kalau kamu memaksakan.”


Sigi menatap Amal. Tidak ada yang bisa melihat raut di wajah Amal kecuali dia. Sigi melihat ekspresi kebimbangan di muka Amal. Ia heran, dari awal Amal yang selalu bercerita soal anak-anak istimewa. Namun, ketika ia bertekad untuk membawa Era Violet lebih cepat, giliran Amal yang ragu. Sigi tersenyum, memberi secercah rasa percaya diri ke Amal.


“Amal, kamu sendiri yang bilang kalau mereka anak-anak hebat. Kalau memang mereka hebat, maka aku minta mereka berbuat apa saja harusnya tidak jadi masalah.”


Dari kejauhan terlihat orang-orang membopong ibu muda yang tangisnya belakangan berubah menjadi histeri. Gejolak emosi tidak bisa ia kendalikan lagi. Kehilangan anak jelas adalah sesuatu yang terburuk, tidak bisa dipungkiri lagi. Ibu muda itu dibawa ke tempat yang lebih teduh dan berusaha dibangunkan lagi. Sigi hanya menatap kejadian itu, dengan air mata datar.


“Aku merasa monster itu akan datang dalam waktu yang sangat dekat.”


“Kamu tahu dari mana, Nak?”


“Percaya deh, aku lebih tahu dari kamu. Era Violet mau tidak mau harus kita datangkan, kalau tidak Bumi ini bakal ditelan hidup-hidup oleh monster itu.”


Ibu muda itu dibangunkan. Histeri mereda meski sedihnya belum hilang. Tidak ada niat untuk Sigi mendatangi ibunya. Seperti yang ia katakan, semua ini merupakan pilihan. Amal juga tidak bisa membujuk kawannya untuk kembali ke pangkuan ibunya. Ia sama-sama percaya kalau Era Violet adalah prioritas, melebihi apapun. Amal yang pertama kali memperkenalkan bayangan sebuah negeri di Era Violet ke Sigi. Bagaimana mungkin ia sekarang malahan berusaha memungkiri itu.


1.3 Era Violet

Ksatria Eagerhind berdiri dengan tegar di depan serdadu-serdadu setianya. Dia, seorang ksatria maha tangguh dari Negeri RYE yang tiada tandingan di mana pun ia bertarung. Dia, seorang ksatria yang sanggup memimpin sepasukan tentara dan membawa mereka pada kemenangan mutlak. Dia, seorang ksatria yang pengabdiannya begitu teguh dan tidak pernah bergeming pada tawaran untuk membela pihak lain.

Terik matahari menusuk, tubuh Ksatria dan serdadu-serdadunya terasa terbakar. Ksatria Eagerhind tidak pernah setuju dengan proposal perang di siang bolong. Terlalu banyak kendala katanya. Mengurangi stamina, mengganggu konsentrasi, dan lebih utama lagi adalah menurutnya kekuatannya dan pasukannya tidak sehebat ketika malam tiba. Berperang di malam juga memungkinkan digunakannya berbagai macam strategi secara fokus.

Namun, apa daya. Perang harus dilakukan sekarang dan tidak bisa ditolak. Tiba-tiba saja Ksatira Eagerhind dan pasukannya diserang. Mau tidak mau ia harus melakukan serangan balik. Gelombang pertama serangan telah berlangsung beberapa jam lalu. Pasukan lawan yang rata-rata terdiri dari makhluk-makhluk hijau jelek itu telah menarik mundur. Namun, bukan berarti serangan juga mengendur. Ada kemungkinan bahwa mereka akan melakukan serangan gelombang kedua. Dengan jumlah pasukan yang berlipat tentunya.

Perang itu bakal datang dalam waktu dekat ini. Ksatria Eagerhind sudah merasakan aura kedatangan musuh. Beberapa saat lalu seekor elang terbang mengitari kamp mereka. Itu adalah burung pantau lawan. Bisa saja Ksatria Eagerhind memanah elang itu, dan membiarkan lawan tidak tahu kondisi mereka. Tapi, ia bukan tipe serdadu yang gentar. Ia biarkan lawan tahu kekuatan yang dimilikinya. Informasi apapun yang bakal dihantarkan elang itu ke tuannya tidak akan berpengaruh. Mereka akan melibas lawan tanpa ampun, berapapun jumlah mereka.

Ksatria Eagerhind menarik nafas panjang. Bau lawan sudah mendekat, ia bisa menciumnya. Mereka akan datang dari hutan di hadapan Ksatria dan serdadu-serdadunya. Ia menyahut, melolong seperti serigala betina memaki purnama. Pedang Arantara, pedang khusus untuk Ksatria tertinggi di Negeri RYE diangkatnya tinggi-tinggi ke udara. Serdadu-serdadunya menyambut sahutan, membuat tanah lapang itu dibahanakan oleh naluri tempur yang makin menggema. Darah akan segera mereka tumpahkan.

Seekor elang keluar dari hutan. Elang yang sama mengitari Ksatria Eagerhind dan serdadu-serdadunya tadi. Namun, kedatangan elang itu kini hanya mengisyaratkan kalau perang akan terjadi dalam hitungan detik. Tidak bisa dihindarkan. Sebuah pertanda yang menyenangkan bagi Ksatria Eagerhind. Saatnya menyudahi ini semua.

Ksatria Eagerhind mengarahkan mata pedangnya ke hutan. Serdadu-serdadunya menanggapi dengan memasang formasi siap serang. Mereka semerta-merta sigap dengan perisai dan pedang di tangan. Musuh pun terlihat makin jelas. Gerombolan makhluk-makhluk hijau bersenjata telah tiba. Mereka datang dengan jumlah tiga kali lipat lawan mereka. Pasukan Ksatria Eagerhind memang sulit untuk dikalahkan dengan jumlah yang sama. Bahkan ukuran pasukan dua kali lipat dari mereka tidak menjamin pasukan maut itu akan kalah.

Makhluk-makhluk hijau itu sudah sangat dekat. Pedang dan tombak sudah siap dilayangkan ke musuh-musuh mereka. Ksatria Eagerhind sendiri masih pada posisinya, berdiri dengan pedang mengarah ke hutan. Ketika akhirnya perang tidak bisa dihindari, ketika senjata berkilatan dan saling beradu, ia juga masih berada pada posisi yang sama. Bahkan ketika sambaran pedang menimpa tubuhnya, ia tetap diam saja. Serdadu-serdadu itu pun bergerak menyerang tanpa komando dari pemimpinnya yang masih mematung itu. Tanpa aksi dari Ksatria Eagerhind, kemahsyuran ia dan serdadu-serdadunya terancam hancur dalam waktu singkat.

“Pelacur!”

Wilma berteriak. Ia menekan-nekan tombol tetikus di tangannya keras-keras. Percuma, karakter jagoannya tidak bergerak sama sekali. Ia memaki sekali lagi dengan kata-kata yang terasa kurang enak keluar dari mulut perempuan seumur dia. Makian berlangsung berulang-ulang dengan variasi kata-kata kasar yang cukup wah. Tujuannya memang bukan untuk menghabiskan kosa kata sumpah serapah di kepala Wilma. Hanya lampiasan kekesalan sebelum akhirnya ia melempar papan kunci ke dinding dan membuatnya hancur.

“Aaaahhhhh”

Wilma menarik-narik rambutnya. Hal yang paling sering ia lakukan kalau ia kesal. Hal yang juga membuat ayahnya berharap andai saja anaknya terlahir gundul. Rambut baru kemudian tumbuh lebat di kulit kepalanya ketika Wilma sudah bisa mengatasi emosi berlebihannya.

“Nik, Ksatria gua kenapa?” Wilma menelpon temannya.

“Meneketempe, harusnya gua yang tanya ke situ. Lu log out gih, terus masuk lagi. Gila nih, anak-anak Pluit kenceng banget nyerangnya.”

”Nggak bisa Monyet! Kalau bisa udah dari tadi kali. Brenti total! Brengsek nih, gua rasa ada yang main-main sama karakter gua.”

“Cari aja siapa yang ngisengin, kerjain balik! Lu kan jago kalau soal begituan. Gua udah paling males sama anak sok jago yang belagak pamer bisa jadi hacker.”

“Kalau keyboard gua masih utuh mungkin bisa, Nik. Nanti deh, sekarang gua mau udahan dulu. Sialan nih, dibangunin pagi-pagi cuma buat dikerjain orang.”

“Wilma, sekarang sudah jam satu siang. Tadi lu dibangunin jam setengah dua belas. Pagi buat orang Hongkong kali ye. Ya udah, lu mandi dulu atau sarapan sekaligus makan siang. Gua lagi perang nih. Gloriae Vobiscum!”

“Gloriae Vobiscum!”

Tidak ada yang bisa dilakukan Wilma lagi. Monitor memperlihatkan karakternya dihabisi oleh makhluk-makhluk hijau itu tanpa bisa melawan. Ia mematikan komputernya. Ia merasa butuh rehat sebentar dari permainan maya yang belakangan ini seperti mendominasi hidupnya. Bahkan ia cuek saja meninggalkan sekolah demi permainan ini. Ayahnya kehilangan akal untuk membujuk anaknya melupakan permainan itu. Wilma terlalu keras kepala untuk dilawan.

Wilma membaringkan badannya di atas tempat tidur. Baru sejenak ia terlentang, bunyi kodok menganggu malas-malasannya. Bunyi pesan singkat di telpon genggamnya. Wilma tidak begitu berselera untuk membaca pesan tersebut. Bisa saja yang memberi pesan dengan tujuan mengejeknya. Apalagi karakter Ksatria sedang jadi bahan tertawaan sekarang.

Maafkan aku Wilma. Aku yang membuat Ksatriamu mematung. Bicaralah denganku sekarang. Tom.

Wilma membaca pesan singkat tersebut. Pesan dari orang yang mengganggu perangnya. Tapi, Wilma tidak menduga orang ini yang jadi penyebab Ksatrianya jadi tampak bodoh.. Tom bukan tipe orang yang melakukan segala sesuatu hanya demi iseng. Pasti ada tujuan di balik ini. Wilma perlu mencari tahu.

Wilma keluar dari kamarnya. Dilihat dari nomor pengirim, Tom kemungkinan ia memekai telpon. Ia pasti mengirim pesan dari internet, dan itu menyulitkan Wilma untuk membalas ke nomor itu. Tom tidak pernah mengirimkan nomor telponnya ke Wilma. Tom tahu banyak soal Wilma, tapi tidak sebaliknya. Setiap Wilma minta detil-detil tentang Tom, nomor telpon sebagai contoh, Tom selalu mengelak untuk memberikan. Wilma hanya memegang email Tom. Itu saja.

Wilma menuju kamar ayahnya. Ia mencabut kabel papan kunci di komputer ayahnya tanpa terlebih dulu minta ijin. Wilma lalu kembali ke kamarnya, lalu memasang peranti itu ke komputer prbadinya, menyalakan komputer, dan mengkoneksikan diri ke Tom. Tom hanya bisa dihubungi lewat pelayan pesan instan, instant messenger. Wilma butuh penjelasan Tom soal peristiwa tadi di Negeri RYE.

Fortressa > Tom, kamu online kan?

Tom_maT > Tidak terbantahkan.

Fortressa > Kenapa kamu merusak karakterku? Nggak lucu tau gak!

Tom_maT> Ada yang lebih besar dari sekadar permainan bodoh itu. Kalau perangmu tidak aku ganggu, aku khawatir kamu tidak mau berbicara denganku sekarang.


Permainan bodoh. Wilma sekarang merasa kesal. Membuat Ksatrianya dikerjai seperti tadi adalah satu hal, tapi mengejek permainan RYE adalah keterlaluan. Emosi Wilma sperti akan meledak. Ia mulai mengetik kata-kata, sebagian besar berisi makian, untuk Tom. Namun, sebelum ia sempat mengirimnya, Tom mengirim pesan lagi. Sebuah pesan yang membuat Wilma terhenyak. Ia mengurungkan diri memaki Tom. Selama ini Tom memang selalu bercerita kalau ia tertekan, namun ia tidak menyangka akan sejauh ini.

Tom_maT > Aku dalam bahaya. Semua yang aku khawatirkan sepertinya bakal jadi kenyataan. Wilma, kamu harus tolong aku.

Selasa, 03 Juni 2008

1.2 Era Violet

"Ini dia Sang Opus!"

Zeus, Perseus, Ahriman, Bhisma, Ashura, Lusifer, Yehezkiel, Arjuna, Memedi, Behistun, dan segala nama yang terngiang. Nama itu terngiang dan terngiang. Otak Didin terasa mengeras, dan nama-nama itu pembekunya. Terus dan terus melayang di kepalanya, mengambang di hadapannya, menghardiknya tiada pernah ingin berhenti. Didin tidak ingat lagi nama-nama itu merepresentasikan apa. Saat ini itu semua hanya sekadar nama.

"Din, gila banget! Dapet dari mana sih barang ini?"

Imam kawan Didin. Dia sedang terekstasi. Ia sedang dimanipulasi bayangan maya yang membuatnya tergagap-gagap. Bayangan itu begitu mencengangkan, dan seluruh tubuhnya hanya bisa terpaku. Ia hanya bisa menamai ekspresi dari racikan obat ini sebagai Opus. Opus yang membahana di tempat tinggal Didin yang hanya sepetak ini. Sebuah rumah kos murah yang sudah biasa dijadikan tempat untuk pencarian ekstase.

Mulut Imam ternganga. Bayang-bayang mencandra di hadapannya. Bayang-bayang mana yang terbang rendah dan semakin rendah. Imam seperti sudah siap melahap mana itu. Makanan rohani tiada tara, dibentuk oleh persepsi belaka. Tapi, bentukan persepsi bisa lebih dahsyat apapaun. Bahkan kebahagiaan paling pamungkas bisa direka persepsi.

Persepsi Imam dan Didin sedang terdistorsi oleh racikan Opus ini. Racun Opus itu begitu hebat, membadai dan menggugah segala bentuk memori untuk bangkit lagi. Bangkit secara acak. Memori pahit, memori manis, semua bangkit. Campur-campuran merusak suasana. Situasi yang membingunkan, tapi sekaligus menyenangkan. Imam setidaknya sedang tersenangkan. Didin tidak memiliki rasa yang sama.

Didin ingin berteriak. Namun, hujaman imaji yang diakibatkan Opus lebih maut. Didin tidak bisa melawan itu. Ia pecinta segala macam senyawa yang bisa mengubah persepsi dan suasana. Tapi, entah kenapa bagi Opus ini terasa amat lain dari yang pernah ia kecap. Didin serasa habis menelan Leviathan yang menyublim menjadi sebentuk pil. Ketika ditelan, ia meradang dan mengamuk menghancurkan organ-organ tubuh Didin.

"Din, aku sudah jadi gila sekarang. Kasih tahu aku bagaimana supaya aku terus menjadi gila. Jangan biarkan Opus berlalu dan keluar bersama air kencing."

Didin tidak memedulikan racauan Imam. Ia pernah merasakan apa yang Imam rasakan sekarang. Super ekstase. Tapi, dengan senyawa lain dan dengan dosis yang berbeda. Hanya saja waktu itu ia menelan sublimasi dewa dalam sebentuk benda padat. Ia tidak sekejam Leviathan ini. Leviathan yang membangkitkan tidak hanya memori tapi juga rasa perih yang makin menghebat ini.

Didin gemetar. Leviathan itu seperti sedang bergerak dengan irama cepat. Gerakan yang menggetarkan darahnya. Kulitnya pun melemah didera gelombang darah kencang itu. Pori-pori jadi terasa membesar. Angin yang mendesak masuk pun terasa gemuruh ditiupkan dengan kencang. Tiupan itu menciptakan resonansi di dalam tubuhnya. Resonansi yang tidak mengenakkan. Didin makin gemetar.

"Aaaaraaaahhhhh!"

"Din, gokil banget ya!"

Imam sama sekali tidak tahu kalau sebenarnya Didin mengerang kesakitan. Tubuh Didin serasa diayak. Tidak bisa melakukan hal lain selain berteriak. Melawan serasa percuma, perih itu makin menusuk, seperti meremas tubuhnya sampai ke isi tulang. Didin telungkup. Wajahnya memerah, darahnya makin terasa panas dan terus mengalir cepat di dalam tubuhnya.

Didin teriak keras sekali lagi, dan tetap diacuhkan Imam. Masih dianggap sebagai bentuk ekspresi kondisi ekstase. Bahkan teriakan yang lebih parau dan kotor ini masih tidak diangagp sebagai curahan rasa sakit. Imam hanya terkulai dan menikmati sendiri maya-maya yang melambung di atas kepalanya.

Didin bergerak menjauh dari Imam. Rasa sakit itu sudah menjalar di setiap inci bagian tubuhnya. Berteriak tidak membuat dirinya lebih baik. Ia berjalan merandat menuju jendela. Siapa tahu kalau ia di dekat situ maka sakit itu bakal hilang disapu angin. Meski itu hanya harapan kosong. Harapan kosong hanya yang ia bisa pegang sekarang.

Perih itu menjadi-jadi. Didin bergerak lagi, menjauh dari jendela sekarang. Sepertinya rasa sakit ini akan memuncak. Amukan yang mengendap di dalam tubuhnya sudah di zenit. Ini hanya menunggu momen di mana kemurkaan itu akhirnya pecah. Menunggu detik-detik saat monster di tubuh Didin itu berada di titik amuk. Dan, amuk itu akhirnya datang. Didin telah di pucuk tragedi.

Didin mengepalkan kedua tangannya. Matanya terpejam, ototnya mengeras, ia mengerang. Rasa sakit sudah membubung, Didin sudah tidak pada bentuk yang utuh lagi. Ia menghentakkan kedua tangannya ke dinding kamar kosnya. Hancur. Lubang menganga di situ, merubuhkan sekat beton antara dua kamar kos. Dua sejoli yang sedang telanjang di kamar sebelah jadi bisa terlihat jelas.

Dua sejoli itu belum menyelesaikan cumbuan mereka, namun sudah dikagetkan dan sekaligus dibuat malu saat perubuhan itu terjadi. Tapi, siapa tidak ada yang pernah menyangka dinding beton itu bisa dirubuhkan semudah itu. Dirubuhkan hanya dengan hentakan oleh satu orang laki-laki. Laki-laki yang tidak dalam kondisi segarnya, dalam kondisi yang kacau kesadarannya.

Didin masih mengerang. Ia terduduk dan membungkuk dan masih berusaha menahan rasa sakit, meski sakitnya tidak sehebat tadi. Didin tidak peduli aksinya tadi cukup mengundang perhatian. Ia tidak peduli kalau tenaganya seperti berlipat ganda di luar kemampuan manusia. Ia hanya ingin sakitnya hilang.

1.1 Era Violet

"Sigi, jalan lebih cepat!"

Sigi tidak merasa ibunya berjalan lebih cepat darinya. Ibunya berada di depannya, tapi tidak lebih cepat. Derap kakinya lebih konstan, tapi tidak lebih cepat. Ibunya telah melalui perjalanan hidup lebih lama, tapi ia tidak lebih cepat dari Sigi. Saat ini, detik ini, Sigi merasa bahwa ia berada di era Violet. Era Violet, sebutannya untuk dunia yang lebih baik. Dunia yang lebih baik menurut Sigi.

"Sigi, mama nggak suka kalau kamu jalannya lama!"

Sigi ditarik. Derap langkahnya dipaksa untuk sama dengan ibunya. Di depan orang banyak ini, di pinggir jalan raya ini ia merasa sederajat dengan anjing. Ditarik rantainya agar anjing itu tidak teralihkan perhatiannya. Kira-kira ada kucing lewat, bisa saja kalau tidak ditarik ia akan melesat mengejar musuh abadinya itu. Sigi menarik nafas. Belum saatnya ia memberontak. Suatu saat mungkin. Usia belia Sigi, masih sepuluh tahun, bukan halangan untuk lepas dari kekangan ibunya.

Meski sekarang derap langkah Sigi secepat ibunya, tapi bukan berarti ibunya bisa mengejar visi di kepala Sigi. Visi yang mendesing melesat, mengisi kemungkinan, mengejar kesimpulan. Segalanya makin jelas belakangan ini. Gambaran yang menurut Sigi bakal membawa dunia ini pada sesuatu yang ideal. Idealisasi ala Sigi. Era Violet bakal teraihkan dalam waktu yang tidak lama. Dengan Sigi yang belia ini nahkodanya.

Derap langkah ibu dan anak itu berhenti. Mereka tiba di sebuah halte bis. Bis-bis dan angkutan umum sekarang enggan berhenti tidak di halte. Hal yang tidak sama dengan beberapa tahun lalu, ketika mereka bisa berhenti seenaknya. Kalau begitu siapa saja bisa menghentikan bis di mana saja. Negeri ini belakangan sedikit lebih tertib, terutama soal lalu lintas. Sedikit, hanya sedikit.

Maka, mereka berdua kini menunggu. Bis belum kunjung datang. Tapi, bukan bis yang Sigi tunggu. Sigi hanya menunggu kapan kesempatan ia bisa mewujudkan Era Violet. Hanya ia yang memiliki nuansa sempurna dari Era Violet. Gambaran soal Era Violet, defini si dari Era Violet, bahkan aturan hidup di Era Violet, semua jelas. Lebih jelas dari garis besar haluan negara yang pernah dibuat oleh siapa saja di mana saja.

Dalam penungguan ini, mereka didatangi seorang laki-laki renta. Tidak membawa apa-apa, kain lusuh melekat di tubuhnya. Wajahnya memelas, tipikal seorang gelandangan lengkap dengan ekspresi ripuhnya. Ibu Sigi diam saja, pura-pura tidak tahu kehadiran laki-laki itu. Sigi menatap laki-laki itu yang masih menengadahkan tangannya. Seperti minta belas kasihan, meski sebenarnya hanya uang yang ia butuhkan.

Sigi tersenyum melihat laki-laki itu. Gembel bukan sesuatu yang baru, tapi binar mata Sigi seolah dipukaukan perhiasan. Seperti terkilat menyusasakan dekilnya halte ini. Sigi tidak melihat seorang manusia. Belas kasih tidak membekas sedikit pun di hati Sigi melihat wajah laki-laki itu. Tapi, terasa bahwa pemandangan ini menggugahnya. Memaksanya untuk mempercepat Era Violet.

"Sigi, bis sudah datang."

Tangan Sigi ditarik. Lagi-lagi perasaan itu datang. Perasaan dibelenggu yang sesegera mungkin harus tersingkirkan dari hidup Sigi. Ini saat yang tepat. Sigi menarik tangannya, melepaskan diri dari genggam erat ibunya.

"Aku harus pergi."

"Kamu jangan macam-macam! Mama tidak mau menunggu bis lagi."

Sigi menghindar. Ibunya mencoba menarik lagi tangannya. Usahanya gagal. Mereka berdua bertatapan. Wajah Sang Ibu berubah. Kesal membuntut di ujung ekspresinya. Ia mencoba lagi untuk menarik anaknya. Sigi lebih sigap. Ia melangkah mundur. Saat ia mencoba untuk meraih anaknya untuk ketiga kalinya, Sigi lari menjauh.

"Sigi!"

Sigi berlari dan ibunya otomatis mengejar. Rasa kesalnya meninggi. Akan ada konsekuensinya bagi anak yang melawan ibunya. Tapi, tiba-tiba saja rasa kesal itu hilang. Hilang berganti dengan rasa panik yang menghebat. Baru beberapa detik kabur, Sigi sudah raib dari pandangan ibunya. Keringat dingin mulai mengucur. Bayangan-bayangan seram mulai menghantui. Bayangan anaknya diculik atau situasi tidak mengenakkan lainnya.

Sigi telah hilang. Ibunya berteriak-teriak memanggil, dan pastinya tidak ada sahutan balik. Orang-orang di sekitar memperhatikan panik ibu itu. Sigi sama sekali tidak terlihat. Sebuah langkah yang sedikit tidak masuk akal. Anak itu kabur, namun seharusnya ia masih bisa melihat larinya. Sosoknya harusnya masih ada di arah pandangan ibunya. Tapi, itu tidak terjadi. Sigi raib.