Selasa, 03 Juni 2008

1.2 Era Violet

"Ini dia Sang Opus!"

Zeus, Perseus, Ahriman, Bhisma, Ashura, Lusifer, Yehezkiel, Arjuna, Memedi, Behistun, dan segala nama yang terngiang. Nama itu terngiang dan terngiang. Otak Didin terasa mengeras, dan nama-nama itu pembekunya. Terus dan terus melayang di kepalanya, mengambang di hadapannya, menghardiknya tiada pernah ingin berhenti. Didin tidak ingat lagi nama-nama itu merepresentasikan apa. Saat ini itu semua hanya sekadar nama.

"Din, gila banget! Dapet dari mana sih barang ini?"

Imam kawan Didin. Dia sedang terekstasi. Ia sedang dimanipulasi bayangan maya yang membuatnya tergagap-gagap. Bayangan itu begitu mencengangkan, dan seluruh tubuhnya hanya bisa terpaku. Ia hanya bisa menamai ekspresi dari racikan obat ini sebagai Opus. Opus yang membahana di tempat tinggal Didin yang hanya sepetak ini. Sebuah rumah kos murah yang sudah biasa dijadikan tempat untuk pencarian ekstase.

Mulut Imam ternganga. Bayang-bayang mencandra di hadapannya. Bayang-bayang mana yang terbang rendah dan semakin rendah. Imam seperti sudah siap melahap mana itu. Makanan rohani tiada tara, dibentuk oleh persepsi belaka. Tapi, bentukan persepsi bisa lebih dahsyat apapaun. Bahkan kebahagiaan paling pamungkas bisa direka persepsi.

Persepsi Imam dan Didin sedang terdistorsi oleh racikan Opus ini. Racun Opus itu begitu hebat, membadai dan menggugah segala bentuk memori untuk bangkit lagi. Bangkit secara acak. Memori pahit, memori manis, semua bangkit. Campur-campuran merusak suasana. Situasi yang membingunkan, tapi sekaligus menyenangkan. Imam setidaknya sedang tersenangkan. Didin tidak memiliki rasa yang sama.

Didin ingin berteriak. Namun, hujaman imaji yang diakibatkan Opus lebih maut. Didin tidak bisa melawan itu. Ia pecinta segala macam senyawa yang bisa mengubah persepsi dan suasana. Tapi, entah kenapa bagi Opus ini terasa amat lain dari yang pernah ia kecap. Didin serasa habis menelan Leviathan yang menyublim menjadi sebentuk pil. Ketika ditelan, ia meradang dan mengamuk menghancurkan organ-organ tubuh Didin.

"Din, aku sudah jadi gila sekarang. Kasih tahu aku bagaimana supaya aku terus menjadi gila. Jangan biarkan Opus berlalu dan keluar bersama air kencing."

Didin tidak memedulikan racauan Imam. Ia pernah merasakan apa yang Imam rasakan sekarang. Super ekstase. Tapi, dengan senyawa lain dan dengan dosis yang berbeda. Hanya saja waktu itu ia menelan sublimasi dewa dalam sebentuk benda padat. Ia tidak sekejam Leviathan ini. Leviathan yang membangkitkan tidak hanya memori tapi juga rasa perih yang makin menghebat ini.

Didin gemetar. Leviathan itu seperti sedang bergerak dengan irama cepat. Gerakan yang menggetarkan darahnya. Kulitnya pun melemah didera gelombang darah kencang itu. Pori-pori jadi terasa membesar. Angin yang mendesak masuk pun terasa gemuruh ditiupkan dengan kencang. Tiupan itu menciptakan resonansi di dalam tubuhnya. Resonansi yang tidak mengenakkan. Didin makin gemetar.

"Aaaaraaaahhhhh!"

"Din, gokil banget ya!"

Imam sama sekali tidak tahu kalau sebenarnya Didin mengerang kesakitan. Tubuh Didin serasa diayak. Tidak bisa melakukan hal lain selain berteriak. Melawan serasa percuma, perih itu makin menusuk, seperti meremas tubuhnya sampai ke isi tulang. Didin telungkup. Wajahnya memerah, darahnya makin terasa panas dan terus mengalir cepat di dalam tubuhnya.

Didin teriak keras sekali lagi, dan tetap diacuhkan Imam. Masih dianggap sebagai bentuk ekspresi kondisi ekstase. Bahkan teriakan yang lebih parau dan kotor ini masih tidak diangagp sebagai curahan rasa sakit. Imam hanya terkulai dan menikmati sendiri maya-maya yang melambung di atas kepalanya.

Didin bergerak menjauh dari Imam. Rasa sakit itu sudah menjalar di setiap inci bagian tubuhnya. Berteriak tidak membuat dirinya lebih baik. Ia berjalan merandat menuju jendela. Siapa tahu kalau ia di dekat situ maka sakit itu bakal hilang disapu angin. Meski itu hanya harapan kosong. Harapan kosong hanya yang ia bisa pegang sekarang.

Perih itu menjadi-jadi. Didin bergerak lagi, menjauh dari jendela sekarang. Sepertinya rasa sakit ini akan memuncak. Amukan yang mengendap di dalam tubuhnya sudah di zenit. Ini hanya menunggu momen di mana kemurkaan itu akhirnya pecah. Menunggu detik-detik saat monster di tubuh Didin itu berada di titik amuk. Dan, amuk itu akhirnya datang. Didin telah di pucuk tragedi.

Didin mengepalkan kedua tangannya. Matanya terpejam, ototnya mengeras, ia mengerang. Rasa sakit sudah membubung, Didin sudah tidak pada bentuk yang utuh lagi. Ia menghentakkan kedua tangannya ke dinding kamar kosnya. Hancur. Lubang menganga di situ, merubuhkan sekat beton antara dua kamar kos. Dua sejoli yang sedang telanjang di kamar sebelah jadi bisa terlihat jelas.

Dua sejoli itu belum menyelesaikan cumbuan mereka, namun sudah dikagetkan dan sekaligus dibuat malu saat perubuhan itu terjadi. Tapi, siapa tidak ada yang pernah menyangka dinding beton itu bisa dirubuhkan semudah itu. Dirubuhkan hanya dengan hentakan oleh satu orang laki-laki. Laki-laki yang tidak dalam kondisi segarnya, dalam kondisi yang kacau kesadarannya.

Didin masih mengerang. Ia terduduk dan membungkuk dan masih berusaha menahan rasa sakit, meski sakitnya tidak sehebat tadi. Didin tidak peduli aksinya tadi cukup mengundang perhatian. Ia tidak peduli kalau tenaganya seperti berlipat ganda di luar kemampuan manusia. Ia hanya ingin sakitnya hilang.

1.1 Era Violet

"Sigi, jalan lebih cepat!"

Sigi tidak merasa ibunya berjalan lebih cepat darinya. Ibunya berada di depannya, tapi tidak lebih cepat. Derap kakinya lebih konstan, tapi tidak lebih cepat. Ibunya telah melalui perjalanan hidup lebih lama, tapi ia tidak lebih cepat dari Sigi. Saat ini, detik ini, Sigi merasa bahwa ia berada di era Violet. Era Violet, sebutannya untuk dunia yang lebih baik. Dunia yang lebih baik menurut Sigi.

"Sigi, mama nggak suka kalau kamu jalannya lama!"

Sigi ditarik. Derap langkahnya dipaksa untuk sama dengan ibunya. Di depan orang banyak ini, di pinggir jalan raya ini ia merasa sederajat dengan anjing. Ditarik rantainya agar anjing itu tidak teralihkan perhatiannya. Kira-kira ada kucing lewat, bisa saja kalau tidak ditarik ia akan melesat mengejar musuh abadinya itu. Sigi menarik nafas. Belum saatnya ia memberontak. Suatu saat mungkin. Usia belia Sigi, masih sepuluh tahun, bukan halangan untuk lepas dari kekangan ibunya.

Meski sekarang derap langkah Sigi secepat ibunya, tapi bukan berarti ibunya bisa mengejar visi di kepala Sigi. Visi yang mendesing melesat, mengisi kemungkinan, mengejar kesimpulan. Segalanya makin jelas belakangan ini. Gambaran yang menurut Sigi bakal membawa dunia ini pada sesuatu yang ideal. Idealisasi ala Sigi. Era Violet bakal teraihkan dalam waktu yang tidak lama. Dengan Sigi yang belia ini nahkodanya.

Derap langkah ibu dan anak itu berhenti. Mereka tiba di sebuah halte bis. Bis-bis dan angkutan umum sekarang enggan berhenti tidak di halte. Hal yang tidak sama dengan beberapa tahun lalu, ketika mereka bisa berhenti seenaknya. Kalau begitu siapa saja bisa menghentikan bis di mana saja. Negeri ini belakangan sedikit lebih tertib, terutama soal lalu lintas. Sedikit, hanya sedikit.

Maka, mereka berdua kini menunggu. Bis belum kunjung datang. Tapi, bukan bis yang Sigi tunggu. Sigi hanya menunggu kapan kesempatan ia bisa mewujudkan Era Violet. Hanya ia yang memiliki nuansa sempurna dari Era Violet. Gambaran soal Era Violet, defini si dari Era Violet, bahkan aturan hidup di Era Violet, semua jelas. Lebih jelas dari garis besar haluan negara yang pernah dibuat oleh siapa saja di mana saja.

Dalam penungguan ini, mereka didatangi seorang laki-laki renta. Tidak membawa apa-apa, kain lusuh melekat di tubuhnya. Wajahnya memelas, tipikal seorang gelandangan lengkap dengan ekspresi ripuhnya. Ibu Sigi diam saja, pura-pura tidak tahu kehadiran laki-laki itu. Sigi menatap laki-laki itu yang masih menengadahkan tangannya. Seperti minta belas kasihan, meski sebenarnya hanya uang yang ia butuhkan.

Sigi tersenyum melihat laki-laki itu. Gembel bukan sesuatu yang baru, tapi binar mata Sigi seolah dipukaukan perhiasan. Seperti terkilat menyusasakan dekilnya halte ini. Sigi tidak melihat seorang manusia. Belas kasih tidak membekas sedikit pun di hati Sigi melihat wajah laki-laki itu. Tapi, terasa bahwa pemandangan ini menggugahnya. Memaksanya untuk mempercepat Era Violet.

"Sigi, bis sudah datang."

Tangan Sigi ditarik. Lagi-lagi perasaan itu datang. Perasaan dibelenggu yang sesegera mungkin harus tersingkirkan dari hidup Sigi. Ini saat yang tepat. Sigi menarik tangannya, melepaskan diri dari genggam erat ibunya.

"Aku harus pergi."

"Kamu jangan macam-macam! Mama tidak mau menunggu bis lagi."

Sigi menghindar. Ibunya mencoba menarik lagi tangannya. Usahanya gagal. Mereka berdua bertatapan. Wajah Sang Ibu berubah. Kesal membuntut di ujung ekspresinya. Ia mencoba lagi untuk menarik anaknya. Sigi lebih sigap. Ia melangkah mundur. Saat ia mencoba untuk meraih anaknya untuk ketiga kalinya, Sigi lari menjauh.

"Sigi!"

Sigi berlari dan ibunya otomatis mengejar. Rasa kesalnya meninggi. Akan ada konsekuensinya bagi anak yang melawan ibunya. Tapi, tiba-tiba saja rasa kesal itu hilang. Hilang berganti dengan rasa panik yang menghebat. Baru beberapa detik kabur, Sigi sudah raib dari pandangan ibunya. Keringat dingin mulai mengucur. Bayangan-bayangan seram mulai menghantui. Bayangan anaknya diculik atau situasi tidak mengenakkan lainnya.

Sigi telah hilang. Ibunya berteriak-teriak memanggil, dan pastinya tidak ada sahutan balik. Orang-orang di sekitar memperhatikan panik ibu itu. Sigi sama sekali tidak terlihat. Sebuah langkah yang sedikit tidak masuk akal. Anak itu kabur, namun seharusnya ia masih bisa melihat larinya. Sosoknya harusnya masih ada di arah pandangan ibunya. Tapi, itu tidak terjadi. Sigi raib.