Selasa, 03 Juni 2008

1.1 Era Violet

"Sigi, jalan lebih cepat!"

Sigi tidak merasa ibunya berjalan lebih cepat darinya. Ibunya berada di depannya, tapi tidak lebih cepat. Derap kakinya lebih konstan, tapi tidak lebih cepat. Ibunya telah melalui perjalanan hidup lebih lama, tapi ia tidak lebih cepat dari Sigi. Saat ini, detik ini, Sigi merasa bahwa ia berada di era Violet. Era Violet, sebutannya untuk dunia yang lebih baik. Dunia yang lebih baik menurut Sigi.

"Sigi, mama nggak suka kalau kamu jalannya lama!"

Sigi ditarik. Derap langkahnya dipaksa untuk sama dengan ibunya. Di depan orang banyak ini, di pinggir jalan raya ini ia merasa sederajat dengan anjing. Ditarik rantainya agar anjing itu tidak teralihkan perhatiannya. Kira-kira ada kucing lewat, bisa saja kalau tidak ditarik ia akan melesat mengejar musuh abadinya itu. Sigi menarik nafas. Belum saatnya ia memberontak. Suatu saat mungkin. Usia belia Sigi, masih sepuluh tahun, bukan halangan untuk lepas dari kekangan ibunya.

Meski sekarang derap langkah Sigi secepat ibunya, tapi bukan berarti ibunya bisa mengejar visi di kepala Sigi. Visi yang mendesing melesat, mengisi kemungkinan, mengejar kesimpulan. Segalanya makin jelas belakangan ini. Gambaran yang menurut Sigi bakal membawa dunia ini pada sesuatu yang ideal. Idealisasi ala Sigi. Era Violet bakal teraihkan dalam waktu yang tidak lama. Dengan Sigi yang belia ini nahkodanya.

Derap langkah ibu dan anak itu berhenti. Mereka tiba di sebuah halte bis. Bis-bis dan angkutan umum sekarang enggan berhenti tidak di halte. Hal yang tidak sama dengan beberapa tahun lalu, ketika mereka bisa berhenti seenaknya. Kalau begitu siapa saja bisa menghentikan bis di mana saja. Negeri ini belakangan sedikit lebih tertib, terutama soal lalu lintas. Sedikit, hanya sedikit.

Maka, mereka berdua kini menunggu. Bis belum kunjung datang. Tapi, bukan bis yang Sigi tunggu. Sigi hanya menunggu kapan kesempatan ia bisa mewujudkan Era Violet. Hanya ia yang memiliki nuansa sempurna dari Era Violet. Gambaran soal Era Violet, defini si dari Era Violet, bahkan aturan hidup di Era Violet, semua jelas. Lebih jelas dari garis besar haluan negara yang pernah dibuat oleh siapa saja di mana saja.

Dalam penungguan ini, mereka didatangi seorang laki-laki renta. Tidak membawa apa-apa, kain lusuh melekat di tubuhnya. Wajahnya memelas, tipikal seorang gelandangan lengkap dengan ekspresi ripuhnya. Ibu Sigi diam saja, pura-pura tidak tahu kehadiran laki-laki itu. Sigi menatap laki-laki itu yang masih menengadahkan tangannya. Seperti minta belas kasihan, meski sebenarnya hanya uang yang ia butuhkan.

Sigi tersenyum melihat laki-laki itu. Gembel bukan sesuatu yang baru, tapi binar mata Sigi seolah dipukaukan perhiasan. Seperti terkilat menyusasakan dekilnya halte ini. Sigi tidak melihat seorang manusia. Belas kasih tidak membekas sedikit pun di hati Sigi melihat wajah laki-laki itu. Tapi, terasa bahwa pemandangan ini menggugahnya. Memaksanya untuk mempercepat Era Violet.

"Sigi, bis sudah datang."

Tangan Sigi ditarik. Lagi-lagi perasaan itu datang. Perasaan dibelenggu yang sesegera mungkin harus tersingkirkan dari hidup Sigi. Ini saat yang tepat. Sigi menarik tangannya, melepaskan diri dari genggam erat ibunya.

"Aku harus pergi."

"Kamu jangan macam-macam! Mama tidak mau menunggu bis lagi."

Sigi menghindar. Ibunya mencoba menarik lagi tangannya. Usahanya gagal. Mereka berdua bertatapan. Wajah Sang Ibu berubah. Kesal membuntut di ujung ekspresinya. Ia mencoba lagi untuk menarik anaknya. Sigi lebih sigap. Ia melangkah mundur. Saat ia mencoba untuk meraih anaknya untuk ketiga kalinya, Sigi lari menjauh.

"Sigi!"

Sigi berlari dan ibunya otomatis mengejar. Rasa kesalnya meninggi. Akan ada konsekuensinya bagi anak yang melawan ibunya. Tapi, tiba-tiba saja rasa kesal itu hilang. Hilang berganti dengan rasa panik yang menghebat. Baru beberapa detik kabur, Sigi sudah raib dari pandangan ibunya. Keringat dingin mulai mengucur. Bayangan-bayangan seram mulai menghantui. Bayangan anaknya diculik atau situasi tidak mengenakkan lainnya.

Sigi telah hilang. Ibunya berteriak-teriak memanggil, dan pastinya tidak ada sahutan balik. Orang-orang di sekitar memperhatikan panik ibu itu. Sigi sama sekali tidak terlihat. Sebuah langkah yang sedikit tidak masuk akal. Anak itu kabur, namun seharusnya ia masih bisa melihat larinya. Sosoknya harusnya masih ada di arah pandangan ibunya. Tapi, itu tidak terjadi. Sigi raib.

Tidak ada komentar: